Selasa, 29 Maret 2011

Hukum Pra Islam di Arab


 BAB I
Pendahuluan
Sebelum Nabi Muhammad saw diutus, orang-orang arab adalah umat yang tidak memiliki aturan dan mereka dikendalikan oleh kebiadaban, dinaungi oleh kegelapan dan kejahilan, serta tak ada agama yang mengikat dan undang-undang yang harus mereka patuhi. Akibat dari hal ini adalah penuhnya jiwa mereka dengan aqidah yang jahil. Mereka terkadang menghayalkan Tuhan itu pada patung (Haikal) yang mereka pahat sendiri dan terkadang pada bintang-bintang yang tampak dan menghilang pada pandangan. Setiap kelompok melihat kebenaran dari apa yang tumbuh dan diwariskan bapak-bapak mereka, dan melihat keagungan dari apa yang tersebar dan dikenal diantara qabilahnya. Hanya sedikit saja dari mereka yang berjalan dengan aturan yang dapat menyelesaikan perselisihan mereka, adat yang dianggap baik serta langkah yang mulia. Sebagian aturan ini datang pada mereka dari syari’at Nabi Isma’il.  Tetapi sebagian ini tertimpa agama orang-orang Yahudi dan Nasrani yang hidup di antara mereka atau yang mengelilingi wilayah mereka atau yang mereka datangi untuk mencari kebutuhan hidup. Sebagian lain mendapat petunjuk dari pengalaman dan dari adat dan tradisi, seperti ucapan mereka : “Pembunuhan itu menghilangkan pembunuhan”, “Pembayaran diat (denda) itu dibebankan kepada keluarga”. Aturan sumpah mereka telah dikenal. Mereka memiliki aturan thalak dzihar, nikah dengan meminang wanita kepada walinya dan lain sebagainya.
Namun demikian, ketetapan itu bukan merupakan undang-undang yang tertulis yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan perselisihan dan menjaga hak-hak mereka, tapi hanya merupakan ketetapan yang sedikit sekali pemanfaatannya, tidak cukup untuk merealisasikan aturan dan mencegah si pembuat kerusakan. Keadaan seperti demikian ini berjalan sampai Allah mengizinkan jazirah Arab yang tandus sebagai tempat tumbuhnya Islam, sebagai tempat terbitnya matahari ilmu dan petunjuk untuk seluruh alam, dan sampai Allah menjadikan orang-orang Arab yang keras hati sebagai penyeru pada agama dan penjaga kehormatannya. Allah Maha Mengetahui bagaimana Dia menetapkan risalah-Nya.[1]


BAB II
PEMBAHASAN
HUKUM YANG BERLAKU DI ARAB PADA MASA PRA ISLAM

A.    PERILAKU BANGSA ARAB SEBELUM ISLAM
Bangsa Arab sebelum diutus seorang Nabi SAW adalah umat yang tidak mempunyai aturan, kebiadaban yang mengendalikan mereka, gelapnya kebodohan yang menaungi mereka dan tidak ada agama yang mengikat mereka, serta tidak ada undang-undang yang dapat mereka patuhi.[2]akibat dari itu semua jiwa mereka dipenuhi dengan akidah yang batil. Tuhan dihayalkan pada patung yang mereka Pahat. Dengan tangannya sendiri, terkadang pada binatang-binatang yang tampak dan hilang didepan mata mereka.
Mekkah adalah sebuah kota yang sangat penting di negeri Arab, baik karena tradisinya maupun karena letaknya. Kota ini ini dilalui jalur perdagangan yang ramai menghubungkan Yaman di selatan dan Syiria di Utara. Dengan adanya ka’bah ditengah kota, Mekkah menjadi pusat keagamaan Arab. ka’bah adalah tempat mereka berziarah. Di dalamnya terdapat 360 berhala, mengelilingi berhala utama, atau hubal. Mekkah kelihatan makmur dan kuat. Agama dan masyarakat Arab ketika itu mencerminkan realitas kesukuan masyarakat jazirah Arab dengan luas satu juta mil persegi.[3]
Bila dilihat dari asal-usul keturunan, penduduk jazirah Arab dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu Qathaniyun (keturunan Catan), dan Adnaniyun (keturunan Ismail ibn Ibrahim). Pada mulanya wilayah utara diduduki oleh golongan Adnaniyun, dan wilayah selatan diduduki oleh golongan qahthan. Akan tetapi lama-kelamaan kedua golongan tersebut membaur karena perpindahan-perpindahan dari utara ke selatan atau sebaliknya.
Masyarakat, baik nomadik ataupun yang menetap, hidup dalam budaya kesukuan Badui. Mereka sangat menekankan hubungan kesukuan sehingga kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah atau suku. Mereka sangat suka berperang, sehingga peperangan antar suku sering terjadi. Sikap ini nampaknya sudah menjadi tabiat yang mendarah daging dalam diri orang Arab.
Dalam masyarakat yang suka berperang tersebut, nilai seorang wanita sangatlah rendah. Situasi ini terus berlangsung sampai agama Islam lahir. Dunia Arab ketika itu merupakan kancah peperangan terus menerus. Pada sisi lain, meskipun masyarakat badui mempunyai pemimpin, namun mereka hanya tunduk kepada syekh atau amir (ketua kabilah) itu dalam hal yang berkaitan dengan peperangan, pembagian harta rampasan dan pertempuran tertentu. Diluar itu, syekh atau amir tidak memiliki wewenang apa-apa.
Pada saat itu penganut agama yahudi juga banyak mendirikan koloni di jazirah Arab, yang terpenting diantaranya adalah Yastrib. Penduduk koloni ini terdiri dari orang-orang Arab yang menganut agama Yahudi. Walaupun agama Yahudi dan Kristen sudah masuk ke jazirah Arab, akan tetapi bangsa Arab masih menganut agama asli mereka, yaitu percaya kepada banyak dewa yang diwujudkan dalam bentuk berhala dan patung. Setiap kabilah mempunyai berhala sendiri. Berhala-berhala itu mereka jadikan tempat menanyakan dan mengetahui nasib baik dan buruk. Demikianlah keadaan bangsa Arab menjelang kebangkitan islam.

B.     HUKUM YANG BERLAKU SEBELUM ISLAM DATANG SECARA UMUM
Secara umum, periode Makkah pra-Islam disebut sebagai periode Jahiliyyah yang berarti kebodohan dan barbarian. Secara nyata, dinyatakan oleh Philip K. Hitti, masyarakat Makkah pra-Islam adalah masyarakat yang tidak memiliki takdir keistimewaan tertentu (no dispensation), tidak memiliki nabi tertentu yang terutus dan memimpin (no inspired prophet) serta tidak memiliki kitab suci khusus yang terwahyukan (no revealed book) dan menjadi pedoman hidup.[4]
Sehubungan dengan sejarah kemanusiaan, hukum Jahiliyyah ternyata membuat keberpihakan pada kelompok tertentu yang dapat disebut memiliki karakter rasial, feudal dan patriarkhis.
1. Karakter Rasial
Sifat pertama, rasial, yang terdapat pada hukum Jahiliyyah bisa ditunjukkan dengan adanya perasaan kebangsaan yang berlebihan (ultra nasionalisme) dan kesukuan ('ashabiyyah) serta adanya pembelaan terhadap orang-orang yang berada dalam komunitas kesukuan (qabilah) yang sama. Pada masyarakat Arab pra-Islam, dikenal istilah al-'ashabiyyah atau al-qawmiyyah yang berarti kecenderungan seseorang untuk membela dengan mati-matian terhadap orang-orang yang berada di dalam qabilah-nya dan dalam qabilah lain yang masuk ke dalam perlindungan qabilah-nya. Benar atau salah posisi seseorang di dalam hukum, asal dia dinilai sebagai inner group-nya, pasti akan selalu dibela mati-matian ketika berhadapan dengan orang yang dinilai sebagai outer group-nya.
Orang-orang Arab pra-Islam memiliki perasaan kebangsaan yang luar biasa (ultra nasionalisme). Mereka menganggap diri mereka (Arab) sebagai bangsa yang mulia dan menganggap bangsa lain ('Ajam) memiliki derajat di bawahnya.
2. Karakter Feudal
Karakter feudal pada hukum Arab pra-Islam tergambar dengan adanya superioritas yang dimiliki oleh kaum kaya dan kaum bangsawan di atas kaum miskin dan lemah. Kehidupan dagang yang banyak dijalani oleh orang Arab Makkah pada waktu itu yang mengutamakan kesejahteraan materi menjadikan tumbuhnya superioritas golongan kaya dan bangsawan di atas golongan miskin dan lemah. Kaum kaya dan bangsawan Arab pra-Islam adalah pemegang tampuk kekuasaan dan sekaligus menjadi golongan yang makmur dan sejahtera di Makkah, kebalikan dari kaum miskin dan lemah.[5]
Sekalipun ada nilai kebaikan (al-muru'ah) dalam masyarakat Arab pra-Islam, sebagaimana yang tergambar dalam puisi-puisi Arab pra-Islam, yaitu bahwa salah satu kebaikan yang harus dimiliki oleh pemimpin kelompok adalah kedermawanan. Masyarakat Arab pra-Islam mempunyai rasa kebanggaan yang salah, yaitu neglect of the poor, neglect of almsgiving and of support for the weaker member of the community (menampik orang miskin, menolak memberi sedekah dan bantuan kepada anggota masyarakat yang lemah). Sistem hukum dan sejarah perbudakan di kalangan Arab pra-Islam merupakan bukti kuat adanya karakter feudal pada hukum Jahiliyyah masyarakat Arab pra-Islam tersebut. Budak adalah manusia rendahan yang memiliki derajat jauh di bawah rata-rata manusia pada umumnya, bisa diperjualbelikan, bisa diperlakukan apa saja oleh pemiliknya, dan tidak memiliki hak-hak asasi manusia sewajarnya selaku seorang manusia.
3. Karakter Patriarkhis
Karakter berikutnya yang melekat kuat pada hukum Jahiliyyah adalah patriarkhis. Dalam penelitian Haifaa, kaum lelaki pada waktu itu memegang kekuasaan yang tinggi dalam relasi laki-laki dengan perempuan, diposisikan lebih tinggi di atas kaum perempuan, Kaum perempuan mendapatkan perlakuan diskriminatif, tidak adil dan bahkan dianggap sebagai biang kemelaratan dan symbol kenistaan (embodiment of sin). Dalam sistem hukum Jahiliyyah, perempuan tidak memperoleh hak warisan, bahkan dijadikan sebagai harta warisan itu sendiri. Kelahiran anak perempuan dianggap sebagai aib, sehingga banyak yang kemudian dikubur hidup-hidup ketika masih bayi. Secara singkat, dalam istilah Haifaa, perempuan diperlakukan sebagai a thing dan bukan sebagai a person.

C.     HUKUM YANG BERLAKU PADA ZAMAN JAHILIYAH
1.      Perkawinan
Ada beberapa jenis perkawinan yang dipraktikan dikalangan masyarakat Arab, sebagian diakui keabsahannya oleh hukum Islam dan sebagian lain dihapuskan karena tidak bersesuaian dengan jiwa hukum Islam :
a.       Poligami, merupakan praktik yang sudah melembaga di masyarakat Arab, namun poligami yang dilaksanakan tidak ada aturan dan batas-batasnya. Seorang laki-laki boleh menikahi perempuan sebayak-banyaknya tanpa batas maksimal
b.      Istibdla, yakni seorang suami meminta istrinya untuk berhubungan badan dengan laki-laki mulia atau mempunyai kelebihan sesuatu, setelah hamil si suami tidak mencampurinya hingga istrinya melahirkan. Tujuan dari perkawinan ini adalah untuk mendapatkan gen, sifat, atau keturunan terhormat atau istimewa.
c.       Rahthun, atau poliandri, yaitu seorang perempuan mempunyai pasangan laki-laki lebih dari seorang.
d.      Maqthu, seorang anak tiri menikahi ibu tirinya ketika ayahnya meninggal. Isyaratnya, ketika si ayah meninggal, si anak melemparkan kain kepada ibu tirinya sebagai pertanda ia menyukai ibu tirinya, dan ibu tiri tersebut tidak dapat menolak.
e.       Badal, yaitu tukar menukar istri tanpa ada perceraian terlebih dahulu dengan tujuan untuk mencari variasi atau suasana baru dalam berhubungan seks.
f.       Sighar, seorang wali menikahkan anaknya atau saudara perempuannya dengan laki-laki lain tanpa mahar dengan kompensasi si wali sendiri menikahi anak perempuan atau saudara perempuan si laki-laki tersebut.
g.      Khadan, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan secara sembunyi-sembunyi tanpa adanya akad nikah (kumpul kebo). Masyarakat Arab ketika itu menganggap perkawinan ini bukan merupakan kejahatan asal dilakukan secara rahasia.

2.      Riba
Menurut Muhammad Abduh (w. 1905) dan muridnya, Muhammad Rashid Ridha, ketika menjelaskan bentuk riba yang dilarang pada masa pra-Islam, mereka menegaskan bahwa riba pada masa pra-Islam dipraktekkan dalam bentuk tambahan pembayaran yang diminta dari pinjaman yang telah melewati batas tempo pembayaran, sehingga mengalami penangguhan yang menyebabkan meningkatnya pembayaran hutang tersebut.
Dari Ibn Zaid bahwa ayahnya mengutarakan bahwa “riba pada masa jahiliyah adalah dalam pelipatgandaan dan umur (hewan). Seseorang yang berutang, bila tiba masa pembayarannya, ditemui oleh debitor dan berkata kepadanya, “Bayarlah atau kamu tambah untukku.” Maka apabila kreditor memiliki sesuatu (untuk pembayarannya), ia melunasi utangnya, dan bila tidak ia menjadikan utangnya (bila seekor hewan) seekor hewan yang lebih tua usianya (dari yang pernah dipinjamnya). Apabila yang dipinjamnya berumur setahun dan telah memasuki tahun kedua (binti makhadh), dijadikannya pembayarannya kemudian binti labun yang berumur dua tahun dan telah memasuki tahun ketiga. Kemudian menjadi hiqqah (yang memasuki tahun keempat), dan seterusnya menjadi jaz’ah (yang memasuki tahun kelima), demikian berlanjut. Sedangkan jika yang dipinjamnya materi (uang), debitor mendatanginya untuk menagih, bila ia tidak mampu, ia bersedia melipatgandakannya sehingga menjadi 100, di tahun berikutnya menjadi 200 dan bila belum lagi terbayar dijadikannya 400. Demikian setiap tahun sampai ia mampu membayar.
Mujahid meriwayatkan bahwa riba yang dilarang oleh Allah SWT adalah yang dipraktekkan pada masa jahiliyah, yaitu bahwa seseorang mempunyai piutang kepada orang lain, kemudian peminjam berkata kepadanya “untukmu (tambahan) sekian sebagai imbalan penundaan pembayaran”, maka ditundalah pembayaran tersebut untuknya.[6]
3.      Anak angkat
Pengangkatan anak (adopsi) merupakan adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Arab Jahiliyah, walaupun anak tersebut jelas mempunyai orang tua sendiri. Anak yang diangkat mempunyai hak-hak yang sama dengan hak-hak anak kandung, misalnya nasab dan warisan.
Orang yang telah diadopsi (diangkat anak) oleh si mati berhak mendapatkan harta peninggalannya seperti anak keturunan si mati. Dalam segala hal, ia dianggap serta diperlakukan sebagai anak kandung dan dinasabkan kepada ayah angkatnya, bukan kepada ayah kandungnya.
Sebagaimana halnya pewarisan atas dasar pertalian kerabat, pewarisan atas dasar ikatan janji prasetia dan pengangkatan anak pun disyaratkan harus orang laki-laki yang sudah dewasa. Sebab, tendensi mereka untuk mengadakan janji prasetia adalah adanya dorongan kemauan bersama untuk saling membela jiwa raga dan kehormatan mereka. Tujuan tersebut niscaya tidak mungkin dapat direalisasikan sekiranya pihak-pihak yang mengadakan janji prasetia itu masih anak-anak atau perempuan. Dan keinginan mereka melakukan pengangkatan anak pun bertujuan melangsungkan silsilah keturunan serta memelihara dan mengembangkan harta kekayaan yang mereka miliki.
4.      Warisan
Hukum kewarisan adat Arab pada zaman Jahiliyah menetapkan tatacara pembagian warisan dalam masyarakat yang didasarkan atas hubungan  nasab  atau kekerabatan, dan hal itu pun hanya diberikan kepada keluarga yang laki-laki saja, yaitu laki-laki yang sudah dewasa dan mampu memanggul senjata guna mempertahankan kehormatan keluarga dan melakukan peperangan serta merampas harta peperangan.
Perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan warisan, karena dipandang tidak mampu  memangul senjata guna mempertahankan kehormatan keluarga dan melakukan peperangan serta merampas harta peperangan.  Bahkan orang perempuan yaitu istri ayah dan/ atau istri saudara dijadikan obyek warisan yang dapat diwaris secara paksa. Praktik ini berakhir dan dihapuskan oleh Islam dengan  yang melarang menjadikan wanita dijadikan sebagai warisan.
Selain itu perjanjian bersaudara, janji setia, juga dijadikan dasar untuk saling mewarisi. Apabila salah seorang dari mereka yang telah mengadakan perjanjian bersaudara itu meninggal dunia maka pihak yang masih hidup berhak mendapat warisan sebesar 1/6 (satu per enam) dari harta peninggalan. Sesudah itu barulah sisanya dibagikan untuk para ahli warisnya. Yang dapat mewarisi berdasarkan janji bersaudara inipun juga harus laki-laki.
Pengangkatan anak yang berlaku di kalangan Jahiliyah juga dijadikan dasar untuk saling mewarisi. Apabila anak angkat itu telah dewasa maka ia mempunyai hak untuk sepenuhnya mewarisi harta bapak angkatnya, dengan syarat ia harus laki-laki. Bahkan pada masa permulaan Islam hal ini masih berlaku.[7]
5.      Haji
Pada masa ini, jama’ah haji terbagi menjadi dua kelompok, pedagang dan non-pedagang. Jama’ah haji pedagang sudah harus bertolak meninggalkan negerinya pada hilal bulan sebelum datangnya bulan haji, sebagai contoh, mereka harus sudah meninggalkan negerinya pada permulaan bulan Dzulqa’dah jika haji itu terjadi pada bulan Dzulhijjah, hal itu dimaksudkan agar para jama’ah haji bisa ikut berpartisipasi dalam pasar khusus di Ukaz selama dua hari, dari pasar Ukaz ini, jamaa’ah haji berangkat menuju Majnah untuk berdagang selama sepuluh hari setelah hilal Dzulhijjah, pasar Majnah ditutup dan rombongan haji pedagang ini berangkat ke Dzul Majaz untuk melakukan transaksi perdagangan selama delapan hari, pada hari tarwiyah, mereka bertolak ke Ar afah untuk melakukan wukuf.
Berbeda dengan jama’ah non-pedagang. Pada hari Tarwiyah, jama’ah non- pedagang ini langsung menuju ke Arafah guna melaksanakan wukuf. Sebagian diantara mereka melaksanakan di Arafah dan bagian yang lain melakukan wukuf di Namirah (perbatasan tanah haram). Setelah bermalam ditempat masing- masing, menjelang terbenamnya matahari, mereka bertolak ke Muzdalifah. Keesokan harinya, setelah matahari terbit, jama’ah haji non-pedagang ini bertolak ke Mina. Dari sini kemudian mereka pergi ke Mekah guna melaksanakan tawaf. Beberapa suku menetapkan tradisi bagi anggota yang baru pertama kali melaksanakan haji. Bagi anggota baru mereka diharuskan melakukan tawaf dalam keadaan tanpa busana, baik laki-laki maupun perempuan karena mereka berargumentasi bahwa pakaian yang dikenakannya adalah kotor (tidak suci) sehingga tidak pantas digunakannya untuk ibadah, sedangkan jama’ah yang dihormati oleh masyarakatnya tetap mengenakan pakaian ketika melaksanakan tawaf, akan tetapi, setelah itu pakaian tersebut tidak boleh digunakan lagi.
Dari rekonstruksi pelaksanaan haji pada masa jahiliyah terdapat unsur- unsur manasik haji nabi Ibrahim. Hal ini menandakan bahwa pada waktu itu suku-suku Arab masih mengikuti millah Ibrahim. Meskipun ajaran Nabi Ibrahim yang murni itu disusupi oleh tradisi-tradisi heterodoks.
6.      Qishash
Sudah diketahui bahwa bangsa Arab telah mempunyai aturan-aturan yang didapati oleh adat dan kebiasaan. Seluruh kabilah telah bertanggung jawab terhadap tindak pidana anggotanya, kecuali apabila kabilah itu mengumumkan tebusan dalam masyarakat umum. Oleh karena itu, jarang wali dari orang yang kena pidana cukup menerima qishash dari orang yang melakukan tindak pidana, lebih-lebih apabila orang yang kena tindak pidana orang yang mulia atau tuan dari kaumnya, bahkan mereka meluaskan tuntutan mereka dengan suatu perluasan yang kadang-kadang sampai menjadikan perang antara dua suku. Dan kebanyakan suku dari pelaku pidana melindunginya, maka yang demikian ini menyebabkan keburukan-keburukan dan perang-perang yang kadang-kadang penyelesaiannya berkepanjangan (berlarut-larut).[8]






Daftar Pustaka
Ali As-sayis, Muhammad, Sejarah Fiqih Islam , 2003. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
­­­­____________________, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (penerjemah Drs. Dedi Junaedi), Jakarta : CV Akademika Pressindo, 1996
Yatim, Badri sejarah peradaban Islam, 2003. Jakarta: PT. Raja Grafindo persada
K. Hitti, Philip, History of Arabs from Earliest Times to the Present, edisi X  (London: The Macmillan Press, 1974)
M.A. Shaban, Islamic History: A New Interpretation I A.D. 600-750, cet. IX (Cambridge: Cambridge University Press, 1971)
Bik, Hudhari, Tarjamah Tarikh al-Islam, (alih bahasa Drs. Mohammad Zuhri) , Semarang : Darul Ikhya,1980



[1] Syekh Muhammad Ali As-Sayis, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (penerjemah Drs. Dedi Junaedi), Jakarta : CV Akademika Pressindo, 1996, h. 13
[2] Ali As-sayis, Muhammad sejarah fiqih Islam, hal: 17
[3] Yatim, Badri sejarah peradaban islam, hal: 9
[4] Philip K. Hitti, History of Arabs from Earliest Times to the Present, edisi X  (London: The Macmillan Press, 1974), hlm. 87.
[5] M.A. Shaban, Islamic History: A New Interpretation I A.D. 600-750, cet. IX (Cambridge: Cambridge University Press, 1971), hlm. 8.
[6] http://zonaekis.com/arti-adhafan-mudhaafah
[7] http://lshifhunnes.wordpress.com/paparan-kuliah/hukum-kewarisan/
[8] Hudhari Bik, Tarjamah Tarikh al-Islam, (alih bahasa Drs. Mohammad Zuhri) , Semarang : Darul Ikhya,1980, h. 230